BOLEHKAH ADA JARAK ANTARA POLITIK DAN AGAMA ?

    Oleh : Irfan***

    HAMPIR sembilan belas tahun sudah kita memasuki era reformasi. Dimana, pada era ini sistem pemilihan Kepala Daerah di Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali. 

    Namun nampaknya, proses perpolitikan kita belum juga tuntas diatasi oleh para elite politik di negara Republik Indonesia ini. Sebab, berbagai macam kepentingan pribadi dan golongan masih menjadi menu utamanya untuk berkuasa. 

    Seperti ketika menjelang hingga usai pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) sering kali dicederai dengan perbuatan yang inkonstitusional, seperti saling serang dengan black camp (kampanye hitam). 

    Tidak hanya itu, persoalan agama pun tak luput menjadi senjata untuk mengkebumikan lawan politiknya. Akibatnya, munculah gerakan yang ingin menjarakkan politik dan agama. Begitu juga sebaliknya, yakni gerakan yang menginginkan agama menjadi dasar dalam berpolitik.

    Lalu, apa sebenarnya yang menjadi dasar dari dua gerakan tersebut ? Menurut penulis dari beberapa sumber, munculnya gerakan menjarakkan agama dan politik itu dikarenakan dapat memicu konflik horizontal maupun vertikal bagi rakyat Indonesia. 

    Dimana bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang beragam, baik suku, rasa, agama, dan golongannya. Sehingga pada Pancasila dan UUD 1945 disebutkan bahwa bangsa Indonesia bangsa yang berketuhanan yang maha esa atau beragama.  

    Artinya, bangsa Indonesia tersebut bukan milik satu agama saja, tetapi milik agama lainnya. Jadi ketika dalam proses pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, serta juga DPR/DPRD itu, isu agama sering kali muncul. Sehingga menjadi bola panas untuk menyerang lawan politik. 

    Akibatnya, dengan isu agama tersebut tidak sedikit menjadi polemik dan konflik di tengah-tengah masyarakat. Contohnya, di Pilkada DKI Jakarta 2017 ini. Seperti yang kita saksikan baik di media televisi maupun media online, beredar spanduk-spanduk untuk memilih pemimpin muslim, dan jangan memilih pemimpin kafir (non muslim). 

    Tentu hal itu menurut mereka yang menginginkan adanya jarak agama dan politik menjadi masalah yang sangat serius, dikarenakan dapat menimbulkan polemik yang bermuara kepada konflik, bahkan dapat meretakkan kebhinekaan.

    Sedangkan gerakan yang menginginkan adanya agama yang menjadi dasar dalam berpolitiknya, dikarenakan Konstitusi Negara Republik Indonesia sudah menjamin kebebasan dalam beragama. 

    Artinya, rakyat Indonesia dianjurkan untuk menjalankan perintah agamanya masing-masing, termasuk dalam hal memilih pemimpin. Menurut paham ini, agama merupakan sumber nilai dari berbagai aspek kehidupan. 

    Sehingga agama dan bidang kehidupan lainnya, termasuk dalam hal politik tidak bisa dipisahkan. Dan lagi, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa setiap ajaran agama itu pasti mengajarkan atau selalu memerintahkan kebaikan, bukan kejahatan. 

    Jadi, ketika politik tersebut dilandasi agama, maka hasil akhirnya pun akan menghasilkan sesuatu yang baik. Dari dua hal diatas, menurut penulis harus disikapi dengan dewasa oleh para elite politik maupun masyarakat secara umumnya. 

    Artinya, dibutuhkan pemikiran secara dewasa dan terbuka. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa negara Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi kebebasan dalam menjalankan agamanya dan kepercayaannya masing-masing.  

    Hal itu dibuktikan oleh para founding father bangsa ini yang menggagas Pancasila dengan meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama. Berdasarkan sila pertama itu, menurut penulis agama merupakan sumber nilai dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik. 

    Jadi sah-sah saja ketika mereka yang berpartisipasi aktif dalam berpolitik, atau lebih dipertajamkan lagi untuk memilih pemimpin berdasarkan pilihan agama. Karena Konstitusi kita menjamin hal itu. 

    Ketika adanya kampanye untuk memilih pemimpin dari agama mereka, ya kita legowo saja. Tak usah hiraukan itu, toh masyarakat Indonesia tetap memiliki hati nuraninya untuk memilih pilihan yang ada. Mereka kan punya mata, telinga, dan hati. Jadi tidak perlu untuk mengcounter isu itu dengan menebarkan ujaran kebencian kepada agama yang lainnya. 

    Mari saling tawarkan program anda-anda untuk kemaslahatan bangsa ini. Perlu penulis garis bawahi kembali, bangsa Indonesia menjamin kebebasan dalam beragama dan menjalankannya. Jadi ketika mereka menyampaikan ajaran agamanya itu sah-sah saja, dan sudah di atur dalam konstitusi kita, yakni Pancasila dan UUD 1945. 

    Sebagai penutup, penulis berkeyakinan ketika kita semua terbuka dan bisa menerima masing-masing agama untuk menjalankan perintahnya, maka kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia dapat tetap kondusif. Sehingga dengan kekondusifan ini, usaha untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dapat terealisasikan sepenuhnya.

    (Penulis adalah mahasiswa STIH Kuala Kapuas Semester VI)