(PERCOBAAN) MAKAR

    Oleh: H Joni***

    SEBANYAK lima orang ditangkap polisi, karena dugaan melakukan makar atau percobaan makar pada Jumat 31 Maret 2017 dinihari akhir bulan lalu. Salah satu orang itu adalah koordinator aksi 31 Maret (dikenal dengan aksi 313), yang juga Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Muhammad al Khaththath. Sebelumnya juga ditangkap tokoh nasional yang berhubungan dan diindikasikan melakukan makar.

    Kendatipun penangkapan itu tidak terlepas dari konteks politik, namun menarik untuk mencermati peristiwa makar dalam konteks hukum. Hal ini disebabkan ketika analisis dari pespektif politis menjadi bias dan berkembang berdasarkan perspektif yang tidak sama. Bahwa kemudian dari unsur yang ada di dalam tindakan mereka, apakah konsisten dengan pasal dalam hukum atau tidak itu tergantung pada polisi yang melakukan penyidikan. Bahwa apakah ada motivasi politis di balik itu, bisa debatable.

    Pemahaman Tentang Makar

    Peristiwa makar bisa dicermati berdasarkan interpretasi leksikal atau berdasarkan arti kata. Menurut kamus, makar1/ma·kar/ n 1 akal busuk; tipu muslihat: segala — nya itu sudah diketahui lawannya; 2 perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya: karena — menghilangkan nyawa seseorang, ia dihukum; 3 perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah: ia dituduh melakukan…(makar).

    Dalam pemahaman umum, makar merupakan tindakan tipudaya yang dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu untuk menghancurkan tatanan yang sudah ada. Tipu daya ini bisa dilakukan dengan cara menyebarkan isu, atau berita bohong yang bersifat adu domba, fitnah, dan dengan melakukan kekacauan. Dalam perspektif ketatanegaraan, makar mengarah atau dilakukan suatu tindakan dengan muatan tipu muslihat, akal busuk, perbuatan (usaha) untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Atau dengan kata lain makar juga bisa dikatakan sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, khususnya lembaga negara dan kepala negara yang sah.

    Dalam pemahaman ketatanegaraan, makar adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan masalah keamanan negara. Negara diupayakan untuk berada pada kondisi tidak aman dengan berbagai isu dan fitnah yang dijadikan dasar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Mengapa seseorang melakukan tindak pidana makar banyak faktor yang memengaruhi. Namun demikian intinya adalah dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintahan atau kekuasaan yang sah dan berkeinginan mengganti dengan tatanan baru menurut versi pelaku.

    Sementara itu untuk menyalurkan ketidakpuasan diaksud melalui jalur formal dinilai buntu. Kelamaan dan pasti tidak efektif atau buntu. Oleh karena itu menurut pelaku jalan yang paling pantas dan layak dilakukan adalah melakukan makar. Merombak tatatan yang ada, diarahkan kepada tatanan yang sesuai dengan kehendaknya dengan cara non legal. Tindakan demikian tentu tidak dilaksanakan sendiri, mengingat organisasi pemerintah sedemikian luas dan kompleks. Oleh karena itu makar pada dasarnya dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama.

    Dasar dari berkumpulnya pelaku makar biasanya tidak semata didasarkan tujuan yang sama. Bahkan dasar atau ideolog yang sama menjadi penguat yang mendasari perspektif bersama. Justru karena kesamaan ideolog inilah yang menciptakan kebersamaam kokoh dan menjadi dasar atas perspektif kondisi pemerintahan yang ada. Bahwa pemerintahan yang ada dinilai tidak efektif berdsarkan pemahaman ideologinya, untuk itu harus diganti.

    Makar dalam KUHP

    Sebagai konsekensi atas tindakan makar maka penyelesaiannya adalah berdasarkan hukum. Dalam kaitan ini KUHP yang merupakan warisan Belanda sebenarnya sudah lama tidak digunakan. Namun dalam peristiwa penangkapan para tokoh kali ini ketentuan dalam KUHP itu nampaknya digunakan kembali. Bahwa hal demikian dinilai kembali kepada jaman bahari, itu soal lain. Namun penggunaan itu setidaknya memberi kesan dipergunakannya ketentuan yabg sebenarnya bisa dinilai tidak sesuai dengan era kekinian.

    Tentang makar ini, diatur dalam Pasal 107 KUHP. Isinya bahwa makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Ancaman berat dan bisa dinyatakan maksimal dalam rentang hukuman atas tindak pidana konvensional. Ancaman yang dapat digunakan sebagai senjata menakutkan bagi para pelaku maker.

    Kualifikasi sebagaimana dinyatakan dalam KUHP itu juga ditujukan kepada pimpinan atau pentolan pelaku makar. Para pemimpin atau otaknya pelaku maker atau yang mengatur makar diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
    Ketentuan lain adalah dalam Pasal 104 KUHP.

    Makar yang dilakukan dengan tujuan akan menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia, atau dengan tujuan akan menjadikan mereka tidak dapat menjalankan pemerintahan sebagai mana mestinya (tot regeren ongeschiktmaken) ancaman hukumannya lebih berat. Hukumannya adalah penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
    Ketentuan mengenai hukuman ini dikuatkan atau bahkan diperberat oleh Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 dinaikkan menjadi hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun. Sebuah pidana maksimal yang secara yuridis ditujukan kepada kejahatan yang berkualifikasi sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.

    Dari rumusan Pasal 104 KUHP terdapat tiga macam tindak pidana, adalah:
    Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh presiden atau wakil presiden. Berikutnya adalah makar yang dilakukan dengan tujuan untuk merampas kemerdekaan presiden atau wakil presiden. Khusus untuk presiden dan wakil presiden ditambah lagi dengan makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan presiden atau wakil presiden tidak dapat menjalankan pemerintahan.

    Beberapa catatan di atas tentunya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita. Pelajaran untuk tidak sembarangan melakukan peristiwa hukum kalau tidak ingin menghadapi kesulitan. Kesulitan yang bisa berbuntut kesengsaraan, karena melakukan tindakan hukum yang sebenarnya secara individual tidak diniati untuk atau mengarah kepada tindak pidana makar.

    Ketentujan yang begitu elastis menjadi acuan untuk dasar berhati hati. Bahwa kesemuanya itu ada muatan politis sekali lagi bersifat relatif. Hal itu bisa terasakan (sangat) ada, namun bukti secara politis bisa sangat elastis.

    Tergantung kepada siapa yang berbicara dan atas dasar kepentingan apa, karena pada dasarnya politik adalah kepentingan. Kata para ahli tidak ada kawan abadi, yang ada dalam politik adalah kepentingan abadi. Kepentingan yang dalam banyak hal tidak mau ada kompetitor, bahkan kritik. Tindakan kompetitor atau melakukan kritik bisa dipandang perlawanan terhadap pemerintahan yang sah, dan itu berarti berkualiifikasi tindak pidana makar.

    *** Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengamat Sosial Tinggal di